TIMES BONTANG, JEMBER – Tanggal 9 Desember adalah Hari Antikorupsi Sedunia. Kenapa 9 Desember menjadi penting? Karena kegiatan korupsi sudah menjalar sangat parah bahkan dahsyat di seluruh dunia.
Korupsi bahkan sudah menjadi budaya dan tradisi bagi pejabat kelas kakap maupun masyarakat tingkat birokrat. Korupsi sudah menjadi hobi yang menjanjikan bagi pelakunya. Korupsi bukan hanya hobi akan tetapi sudah menjadi profesi. Korupsi adalah penyakit akut yang sudah mendarah daging bagi pelakunya.
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini adalah korupsi. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak Perang Dunia Kedua berakhir.
Di Indonesia sendiri, fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Korupsi masih menjadi tradisi setelah Indonesia merdeka baik di era Orde Lama, Orde Baru hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api, seperti halnya pembentukan badan pembratasan korupsi dari era Orde Lama sampai era Reformasi seperti Ran, Opera Budhi, TPK, KPKPN, TGPTPK, dan KPK yang hingga sekarang yang masih eksis.
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
Dilacak ke belakang, fenomena mengguritnya korupsi di Indonesia bermula dari prilaku bangsa kolonial yang amat lama menjajah kita. Pada masa kolonialisme, para penjajah dengan politik devide et impera-nya (adu domba) melakukan pembusukan terhadap moral bangsa dengan menjalankan perselingkuhan politik dan wanita bersama penguasa daerah dan kerajaan.( Kompas, Jihat melawan Korupsi:2005).
Dengan wadah VOC, mereka tidak segan-segan mendukung sekelompok orang yang ingin mendongkel sebuah kekuasaan resmi, asal mendapat keuntungan politik dan materi. Kasus pecahnya kerajaan mataram menjadi kerajaan kartasura, Yogyakarta, serta Surakarta adalah bentuk campur tangan yang dilakukan kolonial terhadap tatanan bangsa ini.
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), juga Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain)
Selain itu ada pula Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Melihat sejarah yang ada, korupsi adalah hal yang merugikan baik bagi rakyat dan negara. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kasus yang ada mulai dari pra kemerdekaan hingga era reformasi. Dalam berbagai pandangan baik secara hukum dan agama, yang namanya korupsi adalah suatu tindakan pidana.
Dalam perspektif hukum memandang bahwa korupsi merupakan kejahatan (crime), koruptor adalah penjahat dan oleh karenanya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menindak para koruptor dengan jerat-jerat hukum serta memberantas korupsi dengan memperkuat perangkat hukum seperti undang-undang dan aparat hukum.
Perspektif agama memandang bahwa korupsi terjadi sebagai dampak dari lemahnya nilai-nilai agama dalam diri individu, dan oleh karenanya upaya yang harus dilakukan adalah memperkokoh internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam diri individu dan masyarakat untuk mencegah tindak korupsi kecil (petty corruption), apalagi korupsi besar (grand corruption).
Korupsi di tanah negeri, ibarat 'warisan haram' tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi.
Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar.
Faktor internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup.
Faktor eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan, aspek managemen dan organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum, terlihat dalam buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti korupsi.
Membaca data mengenai praktik korupsi di Negara ini, kita sudah pasti trenyuh dan mengelus dada. Betapa tidak,bangsa kita yang sejak bertahun-tahun dikenal begitu religius (agamis) ternyata saat ini sebagian besar menjadi koruptor. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi? Apa yang memicu terjadinya praktik korupsi?
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi baik berasal dari dalam diri pelaku atau dari luar pelaku. Ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih 'mendewakan' materi maka dapat 'memaksa' terjadinya permainan uang dan korupsi dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian terpaksa melakukannya.Penyebab seseorang melakukan korupsi karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi.
Dengan demikian, jika menggunakan sudut pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan.
Masalah korupsi pada dasarnya merupakan masalah umat manusia yang dalam usaha mendapatkan kebutuhan dan atau keinginannya yang dilakukan dengan cara yang tidak mengikuti atau melanggar norma-norma yang berlaku, unsur agama serta pendidikan budi pekerti sangat besar peranannya dalam rangka usaha penanggulangan, pencegahan dan pemberantasan korupsi, serta pula kesadaran dan kedewasaan masyarakat akan bahaya korupsi dan dampak dari korupsi itu sendiri yang perlu ditanamkan dan ditumbuhkembangkan sejak dini, terutama memperingati Hari Antikorupsi Sedunia saat ini. (*)
* Penulis Lukman Hakim AR
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Korupsi Musuh Kita, Refleksi Hari Antikorupsi Sedunia
Pewarta | : |
Editor | : Ronny Wicaksono |