Kopi TIMES

Guru di Era Disrupsi

Sabtu, 30 November 2019 - 07:33
Guru di Era Disrupsi Edi Sugianto, Dosen Institut Agama Islam Al-Ghuraba Jakarta

TIMES BONTANG, JAKARTATANGGAL 25 November lalu menjadi hari spesial bagi guru Indonesia. Hari itu adalah momentum untuk membuka jalan baru menuju perubahan pendidikan nasional. Menurut Nadiem Makarim; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah harus menyediakan ruang inovasi bagi para guru Indonesia.

Herakleitos, filsuf Yunani kuno pernah berpesan, bahwa di dunia ini tak ada yang abadi kecuali perubahan. Begitu juga di dunia pendidikan (sekolah), perubahan merupakan keniscayaan yang berlangsung terus-menerus. Dulu, ketika saya di sekolah dasar (tahun 90-an), kegiatan belajar mengajar masih menggunakan papan tulis hitam lengkap dengan kapur. Lalu, papan hitam berubah warna menjadi putih, dan kapur pun berganti spidol marker. Kini, generasi milenial lebih canggih dengan menggunakan gawai dan proyektor.

Dalam mencari ilmu pengetahuan, anak sekolah zaman dulu lebih gemar ke perpustakaan dengan membaca buku, jurnal, koran, atau berdiskusi bersama guru. Sekarang, siswa lebih senang bertanya ke 'Mbah' Google, menikmati kopi di kantin sekolah sembari menyelesaikan tugas. Bagi generasi milenial, internet telah menjadi alat belajar, informasi, dan komunikasi yang sangat mengasyikkan.

Pertanyaannya. Bagaimana guru menyikapi tantangan di era disrupsi yang terus berubah cepat? Saya kira hanya ada dua pilihan: menjadi bagian dari perubahan atau hilang ditelan zaman. Tentu, perubahan mesti direncanakan dan terukur. Saya meminjam istilah Profesor Eng. Imam Robandi, bahwa "gagal merencanakan perubahan adalah sama dengan merencanakan kegagalan". Mengerikan sekali!

Kualitas Guru

Pada tahun 2018 lalu, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) menunjukkan, bahwa kualitas guru-guru Indonesia (27 provinsi) adalah masih rendah; di bawah standar kompetensi minimal (55,0). Rata-rata nasional baru mencapai 53,02. Beberapa provinsi yang mencapai standar nilai UKG, di antatanya: DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Bangka Belitung. (Balitbang Kemdikbud, 2018).

Penyebab rendahnya kompetensi guru di antaranya adalah (1) guru mengajar bidang studi yang tidak sesuai dengan disiplin ilmunya. (2) sebagian guru belum berkualifikasi sarjana. (3) Peningkatan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) guru masih rendah. (4) rekrutmen guru di lembaga-lembaga pendidikan belum efektif. (Indonesiana, 27/4/2019).

Pemerintah mesti membenahi beberapa hal dalam meningkatkan kualitas guru di era disrupsi:

Pertama, ketika guru wajib profesional dan berkualifikasi akademik (sarjana), maka pemerintah mesti mengawasi proses pendidikannya sedari awal. Perguruan tinggi negeri dan swasta memberlakukan seleksi ketat bagi calon guru, sehingga melahirkan lulusan yang benar-benar berkualitas.

Sampai saat ini, saya mengamati perguruan tinggi pendidikan belum serius membina calon guru, sehingga lulusan  yang dihasilkan sering mengecewakan stakeholder pendidikan.

Kedua, kebijakan pemerintah terhadap guru, dalam UU No. 14 Tahun 2005, Pasal 10 (ayat 1) tentang penguasaan empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional, masih sangat minim pelatihan, dan pembinaan. Belum lagi kompetensi-kompetensi guru di era disrupsi.

Di era disrupsi, banyak sekolah hanya fokus memperbarui media pembelajaran saja, tanpa meningkatkan kualitas guru sebagai pengguna. Sehingga alat-alat pembelajaran menjadi tidak optimal, bahkan menua tanpa manfaat. Pendek kata, medianya sudah milenial tetapi gurunya masih kolonial.

Kini, guru dituntut memiliki kompetensi tinggi, mampu memaksimalkan teknologi informasi yang super cepat. Anehnya, masih ada guru yang resisten terhadap kemajuan teknologi pendidikan. Mereka tetap menggunakan cara-cara lama, akibatnya siswa-siswa tidak bergairah dalam belajar.

Menurut hemat saya, selain memiliki empat kompetensi (UU No.14 Tahun 2005), guru di era disrupsi juga perlu menguasai kompetensi lain, di antaranya:

Pertama, kompetensi teknologi. Guru memanfaatkan teknologi, supaya pembelajaran lebih kreatif dan inovatif. Murid-murid abad 21 adalah sangat akrab dengan teknologi digital, bagaimana mungkin guru mengajar dengan menarik, jika masih terjangkit virus Gaptek (gagap teknologi) bahkan TBC (tidak bisa komputer).   

Kedua, kompetensi literasi. Guru di era disrupsi perlu memiliki keterampilan membaca dan menulis yang mumpuni. Setiap guru bisa membuat modul atau buku pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.

Ketiga, kompetensi komunikasi secara global. Internet menjadi alat untuk menembus sekat-sekat negara, yang memungkinkan interaksi instens di antara guru di seluruh belahan dunia. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk bertukar ide, dan menjalin kerjasama demi kemajuan pendidikan di sekolah masing-masing.

Keempat, kompetensi riset. Tugas guru bukan sekadar mengajar siswa, namun juga meneliti apa saja yang terjadi dalam pembelajaran, atau disebut penelitian tindakan kelas (PTK). Lebih luas lagi, guru juga bisa melakukan studi komparasi antara satu sekolah dengan sekolah lain.

Masalah Karakter

Di satu sisi teknologi berdampak positif terhadap pendidikan; memudahkan guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar, namun di sisi lain juga memiliki kelemahan. Teknologi tidak bisa mewakili guru dalam pendidikan karakter, maka keberadaan guru adalah tidak bisa digantikan robot, google, atau kecerdasan buatan lainnya.

Guru adalah teladan siswa sepanjang masa, baik dalam berpikir, berucap, dan berperilaku. Jangan sampai guru kencing berdiri, murid kencing berlari masih ada di dunia pendidikan.

Di era disrupsi guru dituntut membentuk siswa yang berkarakter lengkap (Effendy: 2019). Pertama, nasionalis. Guru menanamkan patriotisme dalam jiwa anak didik, serta menyemai toleransi di antara mereka. Kedua, religius. Guru mengajak siswa untuk mengamalkan nilai-nilai keagamaan, yang bersifat individual atau pun sosial.

Ketiga, gotong royong. Siswa dididik untuk berperan aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan, sehingga dalam jiwanya tertanam solidaritas dan berorientasi pada kepentingan publik. Keempat, integritas. Siswa harus tumbuh menjadi pribadi yang bermoral, berkemanusiaan, dan mencintai kebenaran.  Kelima, kemandirian. Siswa disiapkan untuk hidup berani menjadi diri sendiri sesuai bakat, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Apabila seorang guru hanya mentransfer pengetahuan kepada siswa, perannya bisa digantikan oleh teknologi yang super canggih. Jadi, selain menguasai teknologi informasi, mendidik karakter siswa adalah peran utama seorang guru.

Akhir kata, di era disrupsi pemerintah mesti lebih serius membina guru dalam meningkatkan kapasitas keilmuan, keterampilan, dan karakternya. Bukan hanya memberi berbagai tunjangan, sebab meningkatkan kesejahteraan semata adalah bukan barometer peningkatan kualitas kinerja, dan profesionalitas guru. (*)

* Penulis Edi Sugianto, Dosen Institut Agama Islam Al-Ghuraba Jakarta

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

Pewarta :
Editor : Yatimul Ainun
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bontang just now

Welcome to TIMES Bontang

TIMES Bontang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.